Pengertian dan Fungsi Aswaja
Aswaja adalah akronim dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Aswaja merupakan
prinsip bagi warga nahdliyin (sebutan bagi anggota NU) dan ruh bagi jam’iyah Nahdlatul Ulama,
meskipun pada kenyataanya tidak semua warga nahdliyin sama dalam memposisikan
Aswaja. Pada awal berdirinya NU hingga sekitar tahun 1994, Aswaja lebih
didorongkan sebagai madzhab. Para ulama-ulama NU sendiri pada awalnya berbeda
pendapat mengenai pengertian Aswaja. KH. Sirajuddin Abbas dalam karangannya I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jamaah mendifinisikan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah “sebagai kaum yang menganut i’tiqad yang dianut oleh Nabi
Muhammad SAW. dan sahabat-sahabat beliau.” Berbeda halnya dengan Drs. KH.
Syamsudin Anwar dalam tulisannya Ahlus
Sunnah wal Jamaah Konteksnya Dengan Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Hidup yang
mendefinisikan Aswaja sebagai ”penganut ajaran, paham (doktrin) yang menganut
pada sunah Nabi dan i’tiqad para sahabat Nabi.”
Kemudian pengertian ini mengalami
perubahan ketika Ahlus Sunnah diartikan berdasarkan perspektif Nahdlatul Ulama.
Dalam Qanun
Asasi yang dirumuskan oleh Mbah Hasyim tertulis
bahwa Aswaja merupakan sebuah paham keagamaan di mana dalam bidang aqidah
menganut pendapat Al-‘Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqih menganut
salah satu dari keempat madzhab (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam
Habali), dan dalam bidang tasawuf menganut Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam
Al-Ghazali.
Jika kalangan “sepuh” NU memposisikan
Aswaja sebagai tujuan dalam beragama, kalangan mahasiswa NU (PMII) dan kader
muda NU memposisikan Aswaja sebagai manhajul
fikr (metodologi berfikir). Rumusan ini pertama
kali diintrodusir oleh Kang Said (sapaan akrab Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. Said
Aqil Siradj) dalam sebuah forum di Jakarta Pada tahun 1991. Sebagai manhajul fikr Aswaja tidak dijadikan tujuan dalam
beragama melainkan sebagai metode dalam berfikir untuk mencapai kebenaran
agama.
Rumusan Aswaja sebagai manhajul fikr bisa
diterima oleh kalangan muda NU setelah melihat realita sosial, politik, budaya
dan lain sebagainya. Dengan karakter tawassuth (moderat), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) / netral)
dan ta’addul (keadilan,
tegak, lurus) kalangan muda NU tidak hanya mencari kebenaran beragama melalui
nilai-nilai Aswaja, tapi juga mencoba menyelami, memahami dan mencari solusi
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
Sekalipun dua kalangan ini berbeda dalam
memposisikan Aswaja, akan tetapi ada satu titik yang kemudian menyatukan
mereka, yaitu nasionalisme. Aswaja mengajarkan setiap manusia untuk mencintai
dan berkorban demi bangsa dan negara.
Pengertian dan Dalil Nasionalisme
Pengertian Nasionalisme
Ada kelompok tertentu yang menyatakan
bahwa nasionalisme menjadi penghalang bagi persatuan umat Islam. Pernyataan ini
didengung-dengungkan oleh mereka yang pro dengan berdirinya khilafah islamiyah. Kelompok ini juga
biasa disebut kelompok transnasional. Tidak hanya itu saja, kelompok ini juga
berpendapat bahwa nasionalisme tidak mempunyai dasar dan dalil dalam agama.
Jadi nasionalisme adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama. Dan hal itu
hukumnya haram.
Sebelum berbicara mengenai nasionalisme
dalam perspektif agama, alangkah baiknya untuk menjelaskan pengertian
nasionalisme menurut para ahli terlebih dahulu.
Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kewarganegaraan Perjuangan
Menghidupi Jati Diri Bangsa, Minto Rahayu memaparkan definisi-definisi kata
nasionalise menurut para ahli: 1). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kata “Nasionalisme” berasal dari kata “nasional” dan “isme”, yang berarti paham
kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat cinta tanah air; 2).
Menurut Soekarno, nasionalisme adalah sebuah pilar kekuatan bangsa-bangsa
terjajah untuk memperoleh kemerdekaannya; 3). Menurut Ernest Gellenervia,
nasionalisme adalah suatu prinsip politik yang beranggapan bahwa unit nasional
dan politik seharusnya seimbang; 4). Menurut Anderson, nasionalisme adalah
kekuatan dan kontinuitas dari sentiment dan identitas nasional dengan
mementingkan nation; 5). Menurut H. Kohn, nasionalisme adalah suatu bentuk state of mind and act of consciousness (keadaan
pikiran dan tindakan kesadaran); 6). Menurut Ernest Renan, nasionalisme adalah
kemauan untuk bersatu tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan
kewarganegaraan.
Dari sekian pengertian menurut para ahli,
dapat disimpulkan definisi nasionalisme adalah paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah Negara
(nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok
manusia. Atau dapat juga diartikan sebagai formalisasi (bentuk) dari kesadaran
nasional dan bernegara sendiri.
Nasionalisme Dalam Perspektif Aswaja
“Tidak diragukan lagi bahwasanya membela
agama, jiwa, keluarga, harta dan juga negara beserta penduduknya merupakan
bagian dari jihad yang disyari’atkan. Seorang muslim yang terbunuh di dalam
upaya tersebut, dianggap mati sebagai syahid, berdasarkan sabda Nabi Muhammad
SAW……………”
Kalimat di atas adalah penggalan artikel
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang diposting di website (www.binbaz.org.sa) dengan judul Difa’ul Muslimina ‘An Biladihim minal
Jihadi. Dalam
kalimat tersebut, jelas sekali Syaikh Abdul Aziz menanamkan nilai-nilai
nasionalisme kepada para muslimin.
Pernyataan di atas, sejalan dengan
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945 yang mewajibkan seluruh
umat Islam dalam radius 94 KM. untuk turut serta mengangkat senjata mengusir
tentara sekutu dan NICA “untuk tegaknya Negara Republik Indonesia merdeka.”
Nasionalisme tidak melulu identik dengan
mengangkat senjata dan berperang mengusir penjajah. Nasionalisme juga bisa
berupa kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum negara. Dalam hal ini, salah satu
tokoh panutan Aswaja dalam bidang tasawuf, Imam Junaid Al-Baghdadi, memberikan
contoh sebagaimana dikutip oleh Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam kitab
beliau yang berjudul Al-Yawaqitu
wal Jawahiru: “seandainya
aku adalah seorang penguasa, niscaya aku penggal kepala setiap orang yang
mengatakan, ‘tidak ada yang maujud kecuali Allah.”
Perkataan Imam Junaid Al-Baghdadi tersebut
menggambarkan bahwa beliau sangat patuh dan taat terhadap hukum negara sehingga
tidak “main hakim” sendiri sekalipun di sekitarnya terdapat paham yang menurut
beliau dianggap “sesat”. Beliau sadar bahwa yang berhak menentukan sanksi bagi
mereka yang “sesat” adalah pemerintah.
Ketaatan Imam Junaid Al-Baghdadi terhadap
undang-undang negara tersebut, mungkin menjadi inspirasi bagi warga Nahdliyin
untuk menerima UUD ’45 dan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa. Hal
ini terbukti dengan dilaksanakannya sidang oleh (partai) NU di Cipanas, Bogor
pada tanggal 26-28 Maret 1958 guna menyikapi kondisi politik pada waktu itu.
Sidang dewan partai tersebut mengambil keputusan antara lain menerima UUD 1945
yang secara substansial menjadikan Piagam Jakarta sebagai rohnya. Atau dengan
kata lain, Piagam Jakarta menjiwai terhadap UUD 1945.
Jauh sebelum itu, pada tahun 1935 (10
tahun sebelum Proklamasi kemerdekaan RI) dalam Muktamar NU ke-11 di
Banjarmasin, NU sudah memberikan status hukum negara Indonesia sebagai Darul Islam meskipun
pada waktu itu Indonesia masih berada di bawah kekuasaan penjajah Belanda.
Dengan kata lain, sejak waktu itu, NU menerima Indonesia sebagai negara seperti
apapun bentuk pemerintahannya. Singkatnya, apun bentuk negaranya, itu sesuai
dengan Islam dan harus diperjuangkan.
Sikap nasionalisme NU juga bisa dilihat
dari gambar peta Indonesia pada unsur bola dunia dalam lambang NU. Lambang NU
yang diciptakan oleh KH. Ridlwan Abdullah dalam Anggaran Dasar NU pasal 4
dijelaskan, “gambar
peta pada bola dunia merupakan peta Indonesia melambangkan bahwa Nahdlatul
Ulama dilahirkan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara Republik
Indonesia.”
Sebagaimana telah disampaikan di atas, ada
beberapa kelompok yang menyatakan bahwa cinta tanah air itu hukumnya haram dan
tidak mempunyai dalil dalam agama. Pernyataan itu sepenuhnya salah. Dalam suatu
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas, bercerita tentang diusirnya
Rasulullah SAW. dari kota Makkah, beliau bersabda: “sungguh aku diusir darimu (Makkah).
Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang paling dicintai dan dimuliakan
oleh Allah. Andai pendudukmu (kaum Quraisy) tidak mengusirku darimu, maka aku
tidak akan meninggalkanmu.” (Musnad
Al-Harits karangan Al-Hafidz Al-Haitsami.)
Setelah Rasulullah pertama kali sampai di
Madinah, beliau berdoa: “ya
Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah atau
melebihi cinta kami pada Makkah.” (HR.
Al-Bukhari).
Kedua hadits tersebut menjelaskan betapa
cintanya Rasulullah kepada Makkah. Oleh sebab itu beliau merasa sangat berat
meninggalkan kota Makkah saat beliau diusir oleh kaum Quraisy. Dan setelah
sampai di Madinah, beliau meminta kepada Allah supaya diberikan rasa cinta yang
sama kepada Madinah seperti rasa cinta kepada Makkah, bahkan Rasulullah meminta
supaya rasa cinta beliau kepada Madinah lebih besar dibandingkan saat beliau di
Makkah.
Wallahu
a’lam bis shawab.



Posting Komentar